“Besok kamu pentas di desa Pasanggrahan, jam 9 malam.” Ucap Om Banu, manajerku. “Baik, om.”jawabku singkat.
“Rina, selamat yaa, kamu terpilih mewakili sekolah untuk mengikuti lomba olimpiade matematika tingkat nasional,“ jabat erat tangan Bu Fatmah begitu aku muncul di ruangannya, membuat hatiku berbunga. “Kamu jangan kebanyakan manggung dulu, banyak latihan yaa, nak,” tatapan mata seorang ibu yang ingin melindungi anaknya kulihat di wajah Bu Fatmah. “Pasti bu,” jawabku mantab.
“Bu, aku terpilih untuk mengikuti olimpiade,” berapi-api aku menggambarkan hal itu pada beliau. “Bagus nduk, ibu dengar saja sudah senang. Ibu nggak suka, kalau kamu di kampung ini cuma terkenal gara-gara jadi penyanyi dangdut,” jawab ibuku.
“Memang ibu nggak suka kalau aku juga terkenal jadi penyanyi dangdut, loh itu juga kenyataan,” aku sungguh tak menduga, pernyataan ibu padaku. “Rina, sejujurnya ibu sangat malu,” bentak ibu lantas pergi meninggalkanku seorang diri yang tercekat diam bagai patung dengan mulut ternganga. “Aku kerja seperti ini juga untuk menghidupi keluarga. Bapak udah nggak ada, Ibu cuma jualan gorengan, nggak cukup untuk hidup, apalagi untuk menyekolahkan aku dan Bagas, adikku,” ratapku pada dinding kamar.” Aku tahu kalau ibu tidak selalu suka dengan pekerjaanku sebagai penyanyi dangdut, yang menjual suara dan goyangannya. Tapi yang harus aku lakukan, sementara aku punya sesuatu dalam dunia tarik suara,” isakku pada dinding-dinding anyaman bilah bambu di kamarku.
Kabar mengenai keikutsertaanku dalam Olimpiade Matematika sudah tersebar luas. “Ehh, si penyanyi dangdut lewat, mana ada yaa penyanyi dangdut ikut Olimpiade Matematika, kan penyanyi dangdut bisanya cuman goyang aja, yuk mari, hehehe.” Cibir temen-temen sekolahku. Biarkan anjing menggonggong, khalifah tetap berlalu, itulah yang menjadi motto hidupku sekarang, aku tak peduli terhadap apapun dan siapapun, yang terpenting langkahku masih di jalan kebenaran.
Bahkan keluarga yang aku harap memberikan dukungan, justru sebaliknya. Paman dan bibi yang selama ini diam melihat penderitaan kami, tiba-tiba muncul dengan cacian dan makian tentang kerjaanku sbagai penyanyi dangdut. Begitupun dengan tetanggaku. Ejekan dan hinaan yang aku dapat dari hari ke hari. “Mbak, mbak yang tabah yaa hadapi cobaan ini, aku percaya mbak pasti kuat, aku percaya mbak. Oh iya, mbak semangat yaa untuk olimpiade ini, aku tahu mbak sudah usaha dari dulu banget, cita-cita mbak ikut olimpiade,” Bagas, adikku tak henti-hentinya menghiburku. Kupeluk adikku, “iyaa pasti dek, aku pasti bakal berjuang terus, untuk hidup kita dan cita-citaku,” ujarku menahan tangis.
Juragan kayu itu mengadakan pesta besar-besaran untuk acara pernikahan anak tunggalnya, grup dangdutku ketiban rezeki untuk mengisi acara tersebut. Dari atas panggung aku lihat, suasana keceriaan terlihat di arena pesta. Aku yakin penonton yang datang dari berbagai desa. Lihat mereka ikut menyanyi ketika suaraku mendayu, lihat mereka juga ikut bergoyang saat pinggulku mulai menghentak.
“Bubar… Bubar !!!” teriak sekumpulan orang. Aku belum tersadar dengan apa yang kini terjadi sampai suara Mas Banu terdengar. “Rina cepat lari, turun dari panggung!!!” Aku baru sadar kalau suasana makin tak terkendali, penonton berlari menyelamatkan diri, baku hantam pun tak terelakan lagi. Entah mengapa, kaki ini berat untuk melangkah, sayup-sayup kulihat seorang ibu berpakaian hitam-hitam memberikan arahan sekelompok orang dengan pentungan. Samar-samar kulihat sosok yang kukenal itu makin mendekati tempatku berada dan pyyarr…. Semakin lama semakin tak kudengar suara bising itu. Aku tak tahu apa yang terjadi di sekelilingku. Sebelum aku berangkat pentas, “Bu, aku pergi pentas dulu,” ungkapku. Aku selalu meminta izin dari ibuku, sore itu beliau diam tanpa mengucap sepatah katapun.
Aku biasa dipanggil Rina, Rina sang penyanyi dangdut, yang manggung ke sana kemari. Tapi lihat aku, tidak pernah aku menjadi rendah diri. Walaupun dengan pekerjaanku lihatlah dunia, aku mampu untuk menjadi wakil sekolah untuk maju dalam olimpiade tingkat nasional. Menyingkirkan anak-anak orang kaya yang manja. Aku bukan hanya penyanyi yang hanya pandai bergoyang, bukan itu keahlianku yang utama. Akan kubuktikan pada kalian.
Oleh : Suriaina Pawitama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar